Kamis, 01 Juni 2017

Hadis (Fungsi Hadis Terhadap Al Qur'an)



FUNGSI HADIS TERHADAP AL QUR’AN
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ulumul Hadis
DosenPengampu: Pak Abdul Satar


Oleh:
1)     Ida Arofa                               (1401016024)
2)     Nivora Miga Frelendi          (1401016025)
3)     Anis Lud Fiana                     (1401016026)


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang

Seluruh umat Islam, tanpa terkecuali, telah sepakat bahwa hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukan yang sangat penting setelah  Al-Qur’an. Kewajiban mengikuti hadis bagi umat islam sama wajibnya  dengan mengikuti Al-Qur’an. Hal ini karena hadis merupakan mubayyin terhadap Al-Qur’an. Tanpa memahami dan menguasai hadis, siapa pun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an. Sebaliknya, siapa pun tidak akan bisa memahami hadis tanpa memahami Al-Qur’an karena Al-Qur’an merupakan sumber hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syariat, dan hadis merupakan sumber hukum ke dua, yanag di dalamnya berisi penjabaran dan penjelasan Al-Qur’an. Dengan demikian, Al-Qur’an dan hadis memiliki kaitan yang sangat erat, yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, kedudukan hadis dalam Islam tidak dapat di ragukan karena terdapat penegasan yang banyak, baik di dalam Al-Qur’an maupun dalam hadis nabi Muhammad SAW.  Dalam makalah ini kami akan menjelaskan fungsi hadis terhadap Al-Qur’an.

2.      Rumusan Masalah
1.      Fungsi hadis sebagai Bayan At-Tafsir
2.      Fungsi hadis sebagai Bayan At-Taqrir
3.      Fungsi hadis sebagai Bayan An-Nasakh
4.      Fungsi hadis sebagai Bayan At-Tasyri’



BAB II
PEMBAHASAN
Sudah kita ketahui bahwa hadis mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam. Ia menempati posisi ke dua setelah Al-Qur’an.  Al-Qur’an sebagai sumber ajaran pertama memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum (global), yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci. Di sinilah, hadis menempati dan menduduki  fungsinya sebagai sumber ajaran kedua. Ia menjadi penjelas (mubayyin) isi Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.
بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِۗ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ٤٤
Artinya:  Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.S An-Nahl {16}: 44)[1]
            As-Sunnah adalah sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an atau sebagai penambah baginya. Jika sebagai penjelas, maka keberadannya adalah setelah Al Qur’an. Jika bukan sebagai penjelas terhadap Al Qur’an, maka ia tidak bias menjadi landasan kecuali setelah hokum tersebut tidak ditemukan dalam Al Qur’an. Dan ini menjadi dalil atas didahulukannya Al Qur’an atas As Sunnah.[2]
Umat islam mengambil hukum-hukum Islam dari Al Quran yang diterima dari Rasulullah SAW. Yang dalam hal itu Al Quran membawa keterangan-keterangan yang bersifat mujmal, tidak mufashshal; atau membawa keterangan bersifat  mutlaq, tidak  muqayyad. Misalnya, dalam perintah shalat, Al Quran menyebutkan secara  mujmal sekali, tidak menerangkan syarat, rukun dan kaifiyat-nya.
Memang banyak hukum dalam Al Quran yang tidak dapat dijalankan bila tidak diperoleh syarh atau penjelas yang berpautan dengan syarat-syarat, rukun-rukun,batal-batalnya dan lain-lain dari hadits Rasulullah. Dalam hal itu banyak pula kejadian yang tidak ada nash yang menashkan hukumnya dalam Al Quran secara tegas dan jelas. Dalam hal ini diperlukan ketetapan Nabi yang telah diakui utusan Allah untuk menyampaikan syariat dan undang-undang kepada umat.[3]
Dalam hubungan dengan Al-Qur`an, hadis berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut. Dapat disimpulkan fungsi hadis dalam hubunganya dengan Al-Qur’an sebagai berikut.

1.      Bayan At-Tafsir
       Yang di maksud dengan bayan at-tafsir adalah menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal, dan musyatarak. Fungsi hadis dalam hal ini adalah memberikan perincian (tafshil) dan penaafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayat yang masih muthlaq, dan memberikan takhshish ayat-ayat yang masih umum.
a.          Merinci ayat-ayat yang mujmal
Yang dimaksud dengan mujmal, ialah ayat yang ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang singkat ini terkandung banyak makna yang perlu diperjelaskan. Hal ini tersebut karena belum jelas makna yang dimaksudkannya, kecuali setelah adanya penjelasan atau perincian. Dalam Al Qur’an banyak ayat-ayat yang mujmal yang memerlukan perincian. Sebagi mana contoh yaitu ayat tentang sholat dan zakat.
وَأَقِيمُو الصَّلاَةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ}(البقرة/43ا
Artinya:
“Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.”
Untuk memperjelas ayat tersebut, maka Nabi memberikan perincian dengan sabdanya:
وَصَلُّوا كَمَا رَأَيتُمُوْنِي أُصَلِي
Artinya
Dan sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat.” ( H.R. Bukhari )
b.            Men-Taqyid ayat-ayat yang mutlaq
Kata mutlaq artinya kata yang menunjukkan pada hakikat kata itu sendiri, apaadanya dengan tnpa memandang jumlah maupun sifatnya. Men-Taqyid yang mutlaq artinya membatasi ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat, keadaan atau syarat-syarat tertentu. Penjelasan Nabi SAW, berupa taqyid adalah seperti beliau men-taqyid ayat Al Qur’an (Q.S 5: 38)
{وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِنْ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ}(المائدة/38).
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya  (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa daan Mahabijaksana. (Q.S Al-Ma’idah {5}: 38)
Ayat tersebut di-taqyid oleh hadis Riwayat Muslim:
Rasulullah SAW. Didatangi seorang yang membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan.” (H.R Muslim)
Contoh lain adalah sabda Rasulullah SAW.
“Telah di halalkan bagi kami dua (macam) bangkai dan dua (macam) darah. Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang, sedangkan dua darah adalah hati dan limpa (H.R Ibnu Majah)
Hadis di atas men-taqyid ayat Al Quran (Q.S. Al Maidah: 3)
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِه...ِ
Artinya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangakai, darah, daging babi(daging hewan)yang disembelih atas nama selain Allah.
c.       Men-takhsis ayat yang’am
Kata takhsis atau khas  ialah kata yang menunjukkan arti khusus tertentu atau tungal. Sedangkan kata ‘am kata yang menunjukkan atau memiliki makna dalam jumlah yang banyak atau umum. [4]
Yang dimaksut men-takhsis yang ‘am disini adalah membatasi keumuman ayat Al-Qur’an sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu.
Contoh Hadist yang berfungsi untuk men-takhsis keumuman ayat-ayat Al-Qur’an adalah sabda Nabi SAW
“Yang artinya pembunuh tidak berhak menerima harta warisan” (H.R Ahmad).
Hadist diatas men-takhsis keumuman firman Allah
….يُوصِيكُمْ اللَّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ
            Artinya:” Allah mensyariakan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…”. (Q.S An-Nisa’:11)
Hadist lain yaitu :
و عن أسامة بن زيد رضي الله عليه وسلم قال "لايرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم" (متفق عليه)
            “Dari Usamah bin Zaid r.a., sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda: “Orang Muslim tidak (boleh) mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak (boleh) mewarisi orang muslim” (HR. Muttafaq alaih)
Hadits tersebut mentakhshih ayat berikut:
يُوصِيكُمُٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ
“Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan...”(Q.S An-Nisa’ ayat 11)[5]
d.      Taudlih al-Musykil: Hadits berfungsi untuk menjelaskan hal-hal yang dalam al-Qur’an masih rumit, seperti kata khaith(خيط)

...وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ...
Artinya :
 “...dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar...” (Q.S Al-Baqarah ayat 187)
Berkenaan dengan turunnya ayat tersebut, para sahabatpun awalnya tidak mengetahui bahwa itu adalah kiasan. Dari Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu berkata, “aku meletakkan tali [pengikat kepala] hitam dan putih di bawah bantalku, aku terus melihatnya diwaktu malam akan tetapi tidak jelas bagiku, pagi harinya aku menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan kuceritakan padanya, beliau bersabda,
إنم ذلك سواد الليل و بياض النهار
“Sesungguhnya maksud ayat tersebut adalah hitamnya malam dan putihnya siang” [HR. Al-Bukhari IV/113, Muslim no.1090]
2.      Bayan At-Taqrir
Bayan at-taqrir atau sering di sebut bayan at-ta’qid dan bayan al-itsbat adalah hadis yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Dalam hal ini, hadis hanya berfungsi  untuk memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an. Contoh bayan at-taqrir hadis Nabi SAW yang memperkuat firman Allah Q.S Al-Baqarah {2}: 185) yaitu:                     
. شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنْ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ}(البقرة/185).
Artinya:... Karena itu, barang siapa yang mempersiapkan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa..(Q.S  Al-Baqarah: 185)
Ayat di atas di-taqrir oleh hadis Nabi SAW yaitu  yang artinya : “Apabila kalian melihat (ru’yat) bulan, berpuasalah, begitu pula apabila melihat (ru’yat) bulan itu, berbukalah”
Contoh lainnya adalah Q.S Al-Maidah {5} 6 tentang keharusan berwudhu sebelum shalat, yaitu:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ...}(المائدة/6
Artinya: wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan basuh kakimu sampai mata kaki...( Q.S Al-Maidah : 6) [6]
Ayat Al-Qur’an di atas di-taqrir oleh hadis Nabi SAW, yaitu yang artinya “ tidak diterima shalat seseorang yang berdahas sebelum ia berwudlu” (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah)
Contoh lain yaitu yang artinya:
“Rasulullah SAW. Bersabda ‘ Islam dibangn atas lima dasar, yaitu mengucapkan kalimah syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji, dan berpuasa pada Ramadhan’.”
Hadist di atas men-taqrir  ayat-ayat Al-Qur’an dibawah ini.
a.          Surat Al-Hujurat ayat 15:
{إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ}(الحجرات/15).
Artinya: “sesungguhnya orang­­-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar ( Q.S Alhujarat:15)
Artinya :
b.         Surat An-Nur ayat 56 :
{وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ}(النور/56).
Artinya :
“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatiah kepada Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat.” ( Q.S An-Nur ayat 56)
c.          Surat Al-Baqarah ayat 183 dan 158
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}(البقرة/183
Artinya :
“ Wahai orang-orang yang beriman ! diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” ( Q.S Al-Baqarah ayat 183)
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ..,.
Artinya : …. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (Q.S Al-Baqarah: 185)
d.         Surat Ali Imron 97
{... وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْ الْعَالَمِينَ}
(آل عمران/97
Artinya:
“ … Dan (diantara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mamou mengadakan perjalanan kesana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.”(Q.S Ali Imron :97)
Menurut sebagian ulama, bayan taqrir atau bayan ta’kid ini disebut juga  hayan al-muwafiq li an-nasi al-kitah. Hal ini karena munculnya hadist-hadist itu sesuai nash Al-Qur’an.[7]
3.      Bayan An-Nasakh
Secara bahasa, an-nasakh bisa berati al-ibthal (membatalkan), al ijalah (menghilangkan), at-tahwil (memindahkan), at-taqyir (mengubah).
      Para ulama, baik mutaqaddimin maupun muta’akhirin berbeda pendapat dalm mendefinisikan bayan an-naskh. Perpedaan ini terjadi karena perbedaan diantara mereka dalam mendefinisikan nasakh dari segi kebahasaan.
      Menurut ulama mutaqaddimin, yang di maksud dengan bayan an-nasakh adalah adanya dalil syara’ yang datang kemudian. Dari pengertian tersebut, menurut ulama yang setuju adanya fungsi bayan an-nasakh, dapat di pahami bahwa hadis sebagai ketentuan yang datang berikutnya dapat menghapus ketentuan-ketentuan atau isi Al-Qur’an yang datang kemudian.
        Diantara ulama yang membolehkan adanya nasakh hadis terhadap Al-Qur’an, juga berbeda pendapat dalam hadis yang dapat dipakai untuk men-nasakh Al-Qur’an. Dalam hal ini mereka terbagi dalam tiga kelompok.
        Pertama, yang membolehkan men-naskh Al Qur’an dengan segala hadis, meskipun hadis ahad.  Pendapat ini diantaranya dikemukakan oleh ulama mutaqadinin dan Ibn Hazm serta sebagian pengikut Zhahiriah.
        Kedua,  yang membolehkan men-nash  dengan syarat hadist tersbut harus Mutawattir. Pendapat ini diantaranya dipeang oleh Mu’tajilah.
        Ketiga, ulam yan membolehkan men-nash dengan hadist masyhur, tanpa harus dengan Mutawattir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh ulama Hanafiyah.[8]
Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulma adalah sabda Rasul SAW. Dari Abu Ummamah Al-Bahihi, yang artinya
sesunguhnya Allah telah mwmberikan kepada tiap-tiap orag haknya(masig-masing). Maka, tidak ada wasiat bagi ahli waris. ” (H.R Ahmad dan Al-Arba’ah, kecuali An-Nasa’i. hadist ini diilai Hasan oleh Ahmad dan Tarmizi)
        Hadist ini menurut mereka men-Naskh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180
{كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمْ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ}(البقرة/180).
Artinya :“ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu, bapak dan karib kerabatnya secara makryf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.(Q.S Al-Baqarah: 180)[9]
        Kewajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan Q.S. Albaqarah (2) : 180 di atas, di-naskh hukumnya oleh hadis yang menjelaskan bahwa kepada ahli waris tidak boleh di lakukan wasiat.
4.      Bayan At-Tasyri’
        Kata at-tasyri’ artinya pembuatan, mewujudkan atau  menetapkan aturan atau hukum, maka yang dimaksud dengan bayan at-tasyri’ disini adalah penjelasan hadis yang berupa mewujudkan, mengadakan atau menetapkan suatu hukum atau ketetapan syara’ yang tidak di dapati nash-nya dalam Al-quran. Maksudnya adalah membentuk hukum yang di dalam al-Qur’an tidak ada atau sudah ada tetapi sifatnya hanya khusus pada masalah-masalah pokok, sehingga keberadaan hadits dapat dikatakan sebagai tambahan
        Banyak hadis Nabi SAW. Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara ( antara istri dan bibinya), hukum tentang ukuran zakat fitrah, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak. Suatu contoh dapat di kemukakan di bawah ini, hadis tentang zakat fitrah, yaitu
Bahwasanya Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan (H.R. Muslim)
        Bayan ini oleh sebagian ulama disebut juga dengan bayan za’id al-kitab al karim (tambahan terhadap  nash Al Qur’an). Disebut tambahan disisni, karena sebenarnya di dalam Al Qur’an sendiri ketentuan-ketentuan pokoknya hadis tersebut merupakan tambahan terhadap ketentuan pokok itu.[10]
 Kesimpulan
        Hadis sejalan dengan Al-Qur’an. Hadis menepati posisi kedua setelah Al-Qur’an. Jadi dapat disimpulkan fungsi hadis dalam hubunganya dengan Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1)      Bayan at-Taqrir: Yakni metetapkan dan mengokohkan hokum-hukum al-qur’an, bukan mentaudhihkan, bukan mentaqyidkan muthlaq dan bukan mentakhsihkan ‘aam.
2)      Bayan at-Taudhih (Tafsir): Yakni menerangkan maksud-maksud ayat, seperti hadits-hadits yng menerangkan maksud ayat yang dipahami oleh para sahabat berlainan dengan yang dimaksudkan oleh ayat.
3)      Bayan at-Tafshil: Yakni menjelaskan mujmal al-Qur’an, sebagai hadits yang men-tafshil-kan kemujmalan..
4)           Bayan Tasyri’: Yakni mewujudkan suatu hukum yang tidak tersebut dalam al-Qur’an, seperti menghukum dengan bersandar kepada seorang saksi dan sumpah apabila si mudda’i tidak mempunyai dua orang saksi, da seperti ridha’ (persusuan).
           DAFTAR PUSTAKA
M. Solahudin Agus, Agus Suyadi. Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadis ,Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2013.
Khaeruman ,Badri. Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Hasan, Mustofa, Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 20112.
Jamaludin, Asep. Ulumul Hadis,  Bogor: Gharia Indonesia, 2010



[1] M. Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis ( Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm: 78.
[2]  Syaikh Manna’ AL-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis ( Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar), hlm: 35.
[3] Badri Khaeruman, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 45.
[4]  Asep Jamaludin, Ulumul Hadis, ( Bogor: Gharia Indonesia, 2010), hlm. 39-41
[5] Asep Jamaludin, Ulumul Hadis, ( Bogor: Gharia Indonesia, 2010), hlm. 41-42
[6]  Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, ( Bandung: Pustaka Setia, 20112 ), hlm 104-107.
[7]  Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, ( Bandung: Pustaka Setia, 20112 ), hlm 107-108.
[8] M. Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis ( Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 84-85
[9]  Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, ( Bandung: Pustaka Setia, 20112 ), hlm. 112
[10] Asep Jamaludin, Ulumul Hadis, ( Bogor: Gharia Indonesia, 2010), hlm. 42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar