FUNGSI HADIS TERHADAP AL QUR’AN
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Ulumul Hadis
DosenPengampu:
Pak Abdul Satar
Oleh:
1)
Ida Arofa (1401016024)
2)
Nivora Miga Frelendi (1401016025)
3)
Anis Lud Fiana (1401016026)
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Seluruh
umat Islam, tanpa terkecuali, telah sepakat bahwa hadis merupakan salah satu
sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukan yang sangat penting setelah Al-Qur’an. Kewajiban mengikuti hadis bagi
umat islam sama wajibnya dengan
mengikuti Al-Qur’an. Hal ini karena hadis merupakan mubayyin terhadap Al-Qur’an. Tanpa memahami dan menguasai hadis,
siapa pun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an. Sebaliknya, siapa pun tidak akan
bisa memahami hadis tanpa memahami Al-Qur’an karena Al-Qur’an merupakan sumber
hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syariat, dan hadis merupakan
sumber hukum ke dua, yanag di dalamnya berisi penjabaran dan penjelasan
Al-Qur’an. Dengan demikian, Al-Qur’an dan hadis memiliki kaitan yang sangat
erat, yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, kedudukan hadis dalam Islam
tidak dapat di ragukan karena terdapat penegasan yang banyak, baik di dalam
Al-Qur’an maupun dalam hadis nabi Muhammad SAW.
Dalam makalah ini kami akan menjelaskan fungsi hadis terhadap Al-Qur’an.
2.
Rumusan Masalah
1.
Fungsi hadis sebagai Bayan At-Tafsir
2.
Fungsi hadis sebagai Bayan At-Taqrir
3.
Fungsi hadis sebagai Bayan An-Nasakh
4. Fungsi hadis sebagai
Bayan At-Tasyri’
BAB II
PEMBAHASAN
Sudah kita ketahui bahwa hadis mempunyai kedudukan yang sangat penting
dalam ajaran Islam. Ia menempati posisi ke dua setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai sumber ajaran pertama memuat
ajaran-ajaran yang bersifat umum (global), yang perlu dijelaskan lebih lanjut
dan terperinci. Di sinilah, hadis menempati dan menduduki fungsinya sebagai sumber ajaran kedua. Ia
menjadi penjelas (mubayyin) isi Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.
بِٱلۡبَيِّنَٰتِ
وَٱلزُّبُرِۗ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ٤٤
Artinya:
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan
kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.S An-Nahl {16}: 44)[1]
As-Sunnah
adalah sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an atau sebagai penambah baginya. Jika
sebagai penjelas, maka keberadannya adalah setelah Al Qur’an. Jika bukan
sebagai penjelas terhadap Al Qur’an, maka ia tidak bias menjadi landasan
kecuali setelah hokum tersebut tidak ditemukan dalam Al Qur’an. Dan ini menjadi
dalil atas didahulukannya Al Qur’an atas As Sunnah.[2]
Umat
islam mengambil hukum-hukum Islam dari Al Quran yang diterima dari Rasulullah
SAW. Yang dalam hal itu Al Quran membawa keterangan-keterangan yang bersifat mujmal, tidak mufashshal; atau membawa keterangan bersifat mutlaq, tidak muqayyad. Misalnya, dalam perintah shalat,
Al Quran menyebutkan secara mujmal sekali, tidak menerangkan syarat,
rukun dan kaifiyat-nya.
Memang
banyak hukum dalam Al Quran yang tidak dapat dijalankan bila tidak diperoleh syarh atau penjelas yang berpautan
dengan syarat-syarat, rukun-rukun,batal-batalnya dan lain-lain dari hadits
Rasulullah. Dalam hal itu banyak pula kejadian yang tidak ada nash yang
menashkan hukumnya dalam Al Quran secara tegas dan jelas. Dalam hal ini
diperlukan ketetapan Nabi yang telah diakui utusan Allah untuk menyampaikan syariat
dan undang-undang kepada umat.[3]
Dalam hubungan dengan Al-Qur`an, hadis berfungsi sebagai
penafsir, pensyarah, dan penjelas dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut. Dapat
disimpulkan fungsi hadis dalam hubunganya dengan Al-Qur’an sebagai berikut.
1. Bayan At-Tafsir
Yang di maksud dengan bayan at-tafsir adalah menerangkan
ayat-ayat yang sangat umum, mujmal,
dan musyatarak. Fungsi hadis dalam
hal ini adalah memberikan perincian (tafshil)
dan penaafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayat yang masih muthlaq,
dan memberikan takhshish ayat-ayat
yang masih umum.
a.
Merinci ayat-ayat
yang mujmal
Yang dimaksud
dengan mujmal, ialah ayat yang
ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang singkat ini terkandung banyak makna
yang perlu diperjelaskan. Hal ini tersebut karena belum jelas makna yang
dimaksudkannya, kecuali setelah adanya penjelasan atau perincian. Dalam Al
Qur’an banyak ayat-ayat yang mujmal yang memerlukan perincian. Sebagi mana
contoh yaitu ayat tentang sholat dan zakat.
وَأَقِيمُو الصَّلاَةَ وَآتُوا
الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ}(البقرة/43ا
Artinya:
“Dan
dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang
rukuk.”
Untuk memperjelas
ayat tersebut, maka Nabi memberikan perincian dengan sabdanya:
وَصَلُّوا كَمَا رَأَيتُمُوْنِي أُصَلِي
Artinya
“Dan sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat.”
( H.R. Bukhari )
b.
Men-Taqyid ayat-ayat yang mutlaq
Kata mutlaq artinya kata yang
menunjukkan pada hakikat kata itu sendiri, apaadanya dengan tnpa memandang
jumlah maupun sifatnya. Men-Taqyid
yang mutlaq artinya membatasi
ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat,
keadaan atau syarat-syarat tertentu. Penjelasan Nabi SAW, berupa taqyid adalah seperti beliau men-taqyid ayat Al Qur’an (Q.S 5: 38)
{وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِنْ
اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ}(المائدة/38).
Artinya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua
tangannya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa daan
Mahabijaksana. (Q.S Al-Ma’idah {5}: 38)
Ayat tersebut di-taqyid
oleh hadis Riwayat Muslim:
“Rasulullah SAW. Didatangi seorang yang membawa pencuri, maka beliau
memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan.” (H.R Muslim)
Contoh lain adalah sabda Rasulullah SAW.
“Telah di halalkan bagi kami dua (macam) bangkai dan dua (macam) darah.
Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang, sedangkan dua darah adalah hati
dan limpa (H.R
Ibnu Majah)
Hadis di atas men-taqyid
ayat Al Quran (Q.S. Al Maidah: 3)
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ
وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِه...ِ
Artinya:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangakai, darah,
daging babi(daging hewan)yang disembelih atas nama selain Allah.
c. Men-takhsis
ayat yang’am
Kata takhsis atau khas ialah kata yang
menunjukkan arti khusus tertentu atau tungal. Sedangkan kata ‘am kata yang menunjukkan atau memiliki
makna dalam jumlah yang banyak atau umum. [4]
Yang dimaksut men-takhsis yang ‘am disini adalah membatasi keumuman ayat Al-Qur’an sehingga tidak
berlaku pada bagian-bagian tertentu.
Contoh Hadist yang berfungsi untuk
men-takhsis keumuman ayat-ayat
Al-Qur’an adalah sabda Nabi SAW
“Yang
artinya pembunuh tidak berhak menerima harta warisan” (H.R
Ahmad).
Hadist diatas men-takhsis keumuman firman Allah
….يُوصِيكُمْ اللَّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ
لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ
Artinya:” Allah mensyariakan (mewajibkan) kepadamu
tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang laki-laki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan…”. (Q.S An-Nisa’:11)
Hadist lain yaitu :
و عن أسامة بن زيد رضي
الله عليه وسلم قال "لايرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم" (متفق
عليه)
“Dari Usamah bin
Zaid r.a., sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda: “Orang Muslim tidak (boleh)
mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak (boleh) mewarisi orang muslim” (HR.
Muttafaq alaih)
Hadits tersebut
mentakhshih ayat berikut:
يُوصِيكُمُٱللَّهُ
فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ
“Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang
anak perempuan...”(Q.S An-Nisa’ ayat 11)[5]
d.
Taudlih
al-Musykil: Hadits berfungsi untuk
menjelaskan hal-hal yang dalam al-Qur’an masih rumit, seperti kata khaith(خيط)
...وَكُلُواْ
وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِٱلۡأَسۡوَدِ
مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ...
Artinya
:
“...dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar...” (Q.S Al-Baqarah ayat 187)
Berkenaan dengan turunnya ayat tersebut, para sahabatpun awalnya
tidak mengetahui bahwa itu adalah kiasan. Dari Adi bin Hatim radhiallahu
‘anhu berkata, “aku meletakkan tali [pengikat kepala] hitam dan
putih di bawah bantalku, aku terus melihatnya diwaktu malam akan tetapi tidak
jelas bagiku, pagi harinya aku menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan
kuceritakan padanya, beliau bersabda,
إنم ذلك سواد
الليل و بياض النهار
“Sesungguhnya
maksud ayat tersebut adalah hitamnya malam dan putihnya siang” [HR. Al-Bukhari
IV/113, Muslim no.1090]
2. Bayan At-Taqrir
Bayan at-taqrir
atau sering di sebut bayan at-ta’qid dan
bayan al-itsbat adalah hadis yang
berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Dalam hal ini,
hadis hanya berfungsi untuk memperkokoh
isi kandungan Al-Qur’an. Contoh bayan at-taqrir
hadis Nabi SAW yang memperkuat firman Allah Q.S Al-Baqarah {2}: 185) yaitu:
. شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنْ
الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ
اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ}(البقرة/185).
Artinya:... Karena itu, barang siapa yang
mempersiapkan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa..(Q.S Al-Baqarah: 185)
Ayat di atas di-taqrir
oleh hadis Nabi SAW yaitu yang artinya : “Apabila kalian melihat (ru’yat) bulan,
berpuasalah, begitu pula apabila melihat (ru’yat) bulan itu, berbukalah”
Contoh lainnya adalah Q.S Al-Maidah {5} 6 tentang
keharusan berwudhu sebelum shalat, yaitu:
{يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ
إِلَى الْكَعْبَيْنِ ...}(المائدة/6
Artinya: wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, basuhlah tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu
dan basuh kakimu sampai mata kaki...( Q.S Al-Maidah : 6) [6]
Ayat Al-Qur’an di atas di-taqrir oleh
hadis Nabi SAW, yaitu yang artinya
“ tidak diterima shalat seseorang yang
berdahas sebelum ia berwudlu” (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah)
Contoh lain yaitu yang artinya:
“Rasulullah SAW. Bersabda ‘ Islam dibangn atas
lima dasar, yaitu mengucapkan kalimah syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan
zakat, menunaikan ibadah haji, dan berpuasa pada Ramadhan’.”
Hadist di atas men-taqrir ayat-ayat Al-Qur’an dibawah ini.
a.
Surat Al-Hujurat ayat 15:
{إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ هُمُ
الصَّادِقُونَ}(الحجرات/15).
Artinya: “sesungguhnya orang-orang mukmin yang
sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian
mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan
Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar ( Q.S Alhujarat:15)
Artinya :
b.
Surat An-Nur ayat 56 :
{وَأَقِيمُوا
الصَّلاَةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ
تُرْحَمُونَ}(النور/56).
Artinya :
“Dan
laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatiah kepada Rasul (Muhammad),
agar kamu diberi rahmat.” (
Q.S An-Nur ayat 56)
c.
Surat Al-Baqarah ayat 183 dan 158
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}(البقرة/183
Artinya :
“ Wahai
orang-orang yang beriman ! diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” ( Q.S Al-Baqarah ayat 183)
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى
سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلاَ
يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ..,.
Artinya :
…. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka
(wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari
yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu…” (Q.S Al-Baqarah: 185)
d.
Surat Ali Imron 97
{...
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْ الْعَالَمِينَ}
(آل
عمران/97
Artinya:
“ … Dan (diantara) kewajiban manusia terhadap
Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang
mamou mengadakan perjalanan kesana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji,
maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh
alam.”(Q.S Ali Imron :97)
Menurut sebagian ulama, bayan taqrir atau bayan ta’kid ini disebut juga hayan
al-muwafiq li an-nasi al-kitah. Hal ini karena munculnya hadist-hadist itu
sesuai nash Al-Qur’an.[7]
3.
Bayan An-Nasakh
Secara bahasa, an-nasakh bisa berati al-ibthal
(membatalkan), al ijalah (menghilangkan),
at-tahwil (memindahkan), at-taqyir (mengubah).
Para ulama, baik mutaqaddimin maupun
muta’akhirin berbeda pendapat dalm mendefinisikan bayan an-naskh. Perpedaan ini terjadi karena perbedaan diantara
mereka dalam mendefinisikan nasakh dari
segi kebahasaan.
Menurut ulama mutaqaddimin, yang di maksud dengan bayan an-nasakh adalah adanya dalil
syara’ yang datang kemudian. Dari pengertian tersebut, menurut ulama yang
setuju adanya fungsi bayan an-nasakh, dapat
di pahami bahwa hadis sebagai ketentuan yang datang berikutnya dapat menghapus
ketentuan-ketentuan atau isi Al-Qur’an yang datang kemudian.
Diantara ulama yang
membolehkan adanya nasakh hadis
terhadap Al-Qur’an, juga berbeda pendapat dalam hadis yang dapat dipakai untuk
men-nasakh Al-Qur’an. Dalam hal ini
mereka terbagi dalam tiga kelompok.
Pertama, yang membolehkan men-naskh Al Qur’an dengan segala hadis,
meskipun hadis ahad. Pendapat ini diantaranya dikemukakan oleh
ulama mutaqadinin dan Ibn Hazm serta sebagian pengikut Zhahiriah.
Kedua, yang membolehkan men-nash dengan syarat hadist tersbut harus Mutawattir. Pendapat ini diantaranya
dipeang oleh Mu’tajilah.
Ketiga, ulam yan membolehkan men-nash
dengan hadist masyhur, tanpa harus dengan Mutawattir.
Pendapat ini diantaranya dipegang oleh ulama Hanafiyah.[8]
Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para
ulma adalah sabda Rasul SAW. Dari Abu Ummamah Al-Bahihi, yang artinya
“sesunguhnya
Allah telah mwmberikan kepada tiap-tiap orag haknya(masig-masing). Maka, tidak
ada wasiat bagi ahli waris. ” (H.R Ahmad dan Al-Arba’ah, kecuali An-Nasa’i.
hadist ini diilai Hasan oleh Ahmad dan Tarmizi)
Hadist
ini menurut mereka men-Naskh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180
{كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا
حَضَرَ أَحَدَكُمْ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ
وَالأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ}(البقرة/180).
Artinya :“ Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu, bapak dan karib kerabatnya
secara makryf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S Al-Baqarah: 180)[9]
Kewajiban melakukan wasiat
kepada kaum kerabat dekat berdasarkan Q.S. Albaqarah (2) : 180 di atas, di-naskh hukumnya oleh hadis yang
menjelaskan bahwa kepada ahli waris tidak boleh di lakukan wasiat.
4.
Bayan At-Tasyri’
Kata at-tasyri’ artinya pembuatan, mewujudkan atau menetapkan aturan atau hukum, maka yang
dimaksud dengan bayan at-tasyri’
disini adalah penjelasan hadis yang berupa mewujudkan, mengadakan atau
menetapkan suatu hukum atau ketetapan syara’ yang tidak di dapati nash-nya dalam Al-quran. Maksudnya
adalah membentuk hukum yang di dalam al-Qur’an tidak ada atau sudah ada tetapi
sifatnya hanya khusus pada masalah-masalah pokok, sehingga keberadaan hadits
dapat dikatakan sebagai tambahan
Banyak hadis Nabi SAW.
Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya hadis tentang penetapan haramnya
mengumpulkan dua wanita bersaudara ( antara istri dan bibinya), hukum tentang
ukuran zakat fitrah, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak. Suatu
contoh dapat di kemukakan di bawah ini, hadis tentang zakat fitrah, yaitu
“ Bahwasanya Rasulullah SAW telah
mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum
untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan (H.R.
Muslim)
Bayan ini oleh sebagian ulama
disebut juga dengan bayan za’id al-kitab
al karim (tambahan terhadap nash Al Qur’an). Disebut tambahan disisni,
karena sebenarnya di dalam Al Qur’an sendiri ketentuan-ketentuan pokoknya hadis
tersebut merupakan tambahan terhadap ketentuan pokok itu.[10]
Kesimpulan
Hadis sejalan dengan Al-Qur’an. Hadis
menepati posisi kedua setelah Al-Qur’an. Jadi dapat disimpulkan fungsi hadis
dalam hubunganya dengan Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1) Bayan
at-Taqrir: Yakni
metetapkan dan mengokohkan hokum-hukum al-qur’an, bukan mentaudhihkan, bukan
mentaqyidkan muthlaq dan bukan mentakhsihkan ‘aam.
2)
Bayan
at-Taudhih (Tafsir): Yakni menerangkan maksud-maksud ayat, seperti
hadits-hadits yng menerangkan maksud ayat yang dipahami oleh para sahabat
berlainan dengan yang dimaksudkan oleh ayat.
3)
Bayan
at-Tafshil: Yakni
menjelaskan mujmal al-Qur’an, sebagai hadits yang men-tafshil-kan
kemujmalan..
4)
Bayan Tasyri’: Yakni
mewujudkan suatu hukum yang tidak tersebut dalam al-Qur’an, seperti menghukum
dengan bersandar kepada seorang saksi dan sumpah apabila si mudda’i tidak
mempunyai dua orang saksi, da seperti ridha’ (persusuan).
DAFTAR PUSTAKA
M.
Solahudin Agus, Agus Suyadi. Ulumul Hadis,
Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Al-Qaththan,
Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadis
,Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2013.
Khaeruman
,Badri. Ulumul Hadis, Bandung:
Pustaka Setia, 2010.
Hasan,
Mustofa, Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka
Setia, 20112.
Jamaludin,
Asep. Ulumul Hadis, Bogor: Gharia Indonesia, 2010
[1] M. Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul
Hadis ( Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm: 78.
[2] Syaikh Manna’ AL-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis ( Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar), hlm: 35.
[3] Badri Khaeruman, Ulumul Hadis, (Bandung:
Pustaka Setia, 2010), hlm. 45.
[4] Asep Jamaludin, Ulumul Hadis, ( Bogor: Gharia Indonesia,
2010), hlm. 39-41
[5] Asep Jamaludin, Ulumul Hadis,
( Bogor: Gharia Indonesia, 2010), hlm. 41-42
[6] Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, ( Bandung: Pustaka Setia,
20112 ), hlm 104-107.
[7] Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, ( Bandung: Pustaka Setia,
20112 ), hlm 107-108.
[8] M. Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul
Hadis ( Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 84-85
[9] Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, ( Bandung: Pustaka Setia,
20112 ), hlm. 112
[10] Asep Jamaludin, Ulumul Hadis,
( Bogor: Gharia Indonesia, 2010), hlm. 42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar